Selasa, 03 Agustus 2010

Mendengarkan Suara Tuhan

Ada seorang anak muda yang bersahabat akrab dengan seorang pengkhotbah tua. Suatu hari, anak muda ini kehilangan pekerjaannya dan tidak tahu lagi harus
berbuat apa. Akhirnya, dia memutuskan untuk mencari si pengkhotbah tua itu

Ketika berada di ruang belajar si pengkhotbah, si pemuda ini berteriak-teriak tentang problem hidupnya. Akhirnya dengan kalap dia mengepal-ngepalkan tinjunya, sambil berteriak, "Saya memohon Tuhan agar menolong saya. Tapi hai pengkhotbah, mengapa Dia tidak menjawab saya?"

Si pengkhotbah tua itu pergi ke ruang lain dan duduk di sana. Lalu dia berbicara sesuatu dan menanti jawaban si pemuda. Tentu saja si pemuda itu tidak mendengarkan dengan jelas, sehingga dia ikut-ikutan pindah ruangan.

"Apa sih katamu?" tanya si pemuda penasaran. Si pengkhotbah itu mengulangi kata-katanya dengan perlahan sekali, seperti sedang bergumam sendiri. Tetapi si pemuda belum menangkap bisikan si pengkhotbah. Dia terus mendekati si pengkhotbah tua ini dan duduk di bangku sebelahnya.

Si pemuda itu lagi-lagi bertanya, "Apa katamu? maaf, saya tadi belum mendengarnya."

Dengan lembut, si pengkhotbah memegang pundak si pemuda, "Saudaraku, Allah kadang-kadang berbisik, jadi kita perlu lebih dekat menghampiriNya, agar dapat mendengar Dia dengan lebih jelas lagi." Si pemuda itu tertegun dan akhirnya dia mengerti.

Kita seringkali menginginkan jawaban Tuhan bak petir yang menggelegar di udara dan sekaligus meneriakkan jawaban dariNya. Tetapi Allah sering diam, kadang Dia bicara dengan lembut, bahkan berbisik. Hanya dengan satu alasan: agar Anda mau menghampiri takhta kemuliaanNya dan lebih dekat kepadaNya. Setelah Anda berada di dekatNya, Anda baru bisa mendengar jawaban Tuhan dengan jelas.

Indah sekali untuk mengetahui bahwa kita melakukan sesuatu yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat, dengan cara yang tepat dan bersama orang-orang yang tepat. Itulah yang terjadi apabila kita dipimpin oleh Roh Kudus. (Billy Joe Daugherty, Led By The Spirit)

Senin, 02 Agustus 2010

ORANG KRISTEN DICINA

Keadaan yang Buruk di dalam Penjara Ruth duduk di atas lantai yang kotor. Perasaannya dipenuhi keinginan untuk memberontak karena bau busuk yang begitu menyengat dan meliputi udara di dalam sel.Ruth tidak bisa mengingat bau benda apa yang lebih busuk dari bau ruangan ini. Di dalam sel ini tidak ada toilet, bahkan tidak ada satu lubang kecil untuk pembuangan kotoran.Sedikitpun tidak tersedia air di tempat itu. Di Cina, khususnya selama masa kebrutalan revolusi kebudayaan, para tahanan benar-benar tidak diperhatikan.
Ruth bisa merasakan binatang-binatang kecil merayapi tubuhnya seperti laba-laba, kecoa, dan tikus. Nyamuk-nyamuk yang haus akan darah berdesingan di mana-mana. Kegelapan meliputi tempat itu. Begitu gelapnya sampai Ruth tidak bisa melihat orang-orang yang ada di sekelilingnya. Pikirannya sedang melamunkan tiga orang anaknya, Daniel, 10, Joseph, 8, Mary, 5, yang ditinggal sendirian di rumah.Ruth bersama dengan suaminya, Michael, telah ditawan dan dimasukkan ke dalam sel tahanan.

Tragedi yang Mengenaskan

Dalam kegelapan itu, tiba-tiba ada suara seorang teman yang bertanya, "Apakah kamu punya anak?"Mendengar pertanyaan yang seakan-akan mengerti pikiran dan perasaannya, Ruth menjawab, "Ya, ada tiga orang," jawabnya."Sebenarnya saya telah melahirkan empat orang anak, namun seorang diantaranya telah mati," lanjutnya. "Apa yang telah terjadi?" Ruth tidak bisa menjawab.Untuk sesaat air matanya mengalir membasahi pipinya."Tuhan, tolonglah aku untuk mempermuliakan Engkau dalam segala sesuatu," dia berdoa.
Akhirnya, dia mulai menceritakan kisah tragis yang menimpa anaknya ini. Dengan suara pilu dia berkata, "Peter," Ruth menyebut nama anaknya ini. "Tiga tahun yang lalu, ketika dia berumur 11 tahun, rumah kami digeledah dan didatangi oleh Tentara Merah (Red Guards).Ada beratus-ratus orang yang datang dan memeriksa tempat kami. Mereka telah mengetahui bahwa saya dan suami saya adalah seorang pemimpin dari banyak 'gereja rumah' di daerah itu.

Mereka menendang roboh pintu rumah kami, mengikat suami saya dan menggunduli kepala kami berdua. Mereka menodongkan senjata di atas kepala kami dan berteriak: "Di mana Alkitabmu? Di mana rekan-rekan yang bersamamu? Di mana kamu melakukan pertemuan?""Karena kami menolak untuk menjawab, mereka mulai menghancurkan perabot-perabot rumah kami dan seisi rumah kami diporak-porandakan. Untuk tiga hari tiga malam kami tidak diijinkan makan, minum atau tidur. Mereka melihat empat orang anak kami dan mereka membariskan mereka di atas bangku.Ketika anak kami kelelahan, mereka memukuli mereka dan memerintahkan untuk terus berdiri di atas bangku. Karena saya dan suami saya tidak mau menjawab saat ditanyai, maka tentara Red Guard's mulai menginterogasi anak-anak kami. Tetapi anak-anak kami juga menolak untuk bekerja sama. Mereka mengetahui bahwa hidup atau mati, mereka harus mengakui nama Tuhan Yesus - dan jangan pernah menyebutkan nama atau identitas rekan-rekan pekerja Kristen yang lain.
Dengan kasar mereka mulai memukuli anak kami lagi. Peter diseret keluar rumah dan giginya mulai dicabuti. Dia dipukuli hingga berdarah. Akhirnya mereka melemparkan dan meninggalkan tubuhnya yang sudah lumpuh di atas lantai. Suami saya dibawa dan dipekerjakan secara paksa di kamp militer pekerja berat."Saya segera membawa Peter ke rumah sakit. Dokter mengatakan tidak ada harapan karena anak ini telah banyak mengeluarkan darah. Saya diberitahu untuk mempersiapkan pemakaman baginya. Mereka juga telah memberikan surat-surat yang diperlukan untuk proses pemakaman.""Pihak yang berwewenang mengijinkan suami saya untuk meninggalkan kamp kerja paksa untuk sesaat dan menjenguk Peter di saat menit-menit terakhir sebelum Peter dijemput Tuhan. Ketika melihat ayahnya datang, Peter sangat gembira. 'Ayah dan ibu,' katanya, 'banyak orang yang mengenakan jubah hitam saat mereka mati, tetapi saya ingin berpakaian jubah putih, supaya saya kelihatan indah saat bertemu dengan Tuhan Yesus!' Kami menangis dan sangat berduka karena dia. Dan kami berdoa bersama-sama supaya nama Allah dipermuliakan."

"Karena musim hujan pada waktu itu maka semua jendela di tempat itu ditutup. Tetapi ketika kami selesai berdoa satu jendela terbuka dan ada angin sejuk berhembus masuk memenuhi ruangan. Roh penghibur datang memasuki hati kami.'Peter berbisik perlahan, 'Yesus telah datang untuk membawaku pulang. Selamat tinggal.' Wajahnya dipenuhi dengan sukacita. Bahkan dokter yang hadir saat itu digerakkan untuk berkomentar, 'Saya belum pernah melihat orang yang mati penuh kedamaian seperti ini.'""Ketika kami pulang ke rumah, anak-anak kami yang lebih muda dari Peter mengagetkan kami dengan kegembiraan yang luar biasa. Mereka berkata, 'Kami tidak bisa tidur, karena kami melihat kumpulan besar malaikat-malaikat di sekeliling rumah. Mereka membawa alat-alat musik instrumen dan menyanyi untuk kami.Mereka mengatakan bahwa mereka datang untuk membawa Peter bersama-sama dengan mereka ke sorga.'""Saya menjelaskan, 'Saudaramu telah pergi bersama-sama dengan Tuhan Yesus.' Dan mereka semua menangis.Peter begitu mengasihi saudara-saudaranya ini dan mereka juga membalas kasihnya dengan rasa sayang yang sangat besar."

Mengganti Kebencian dengan Kasih
Ada kesunyian yang panjang dalam sel itu. Tetapi kemudian Ruth mulai bisa mendengar suara tangisan yang berasal dari berbagai tempat di dalam sel gelap itu. Tiba-tiba, terdengar suara teriakan kemarahan, "Terkutuklah orang-orang Red Guards! Kenapa mereka melakukan hal yang keji seperti ini?
Saya berharap bisa mencekik leher orang-orang ini dan membunuh mereka!" "Jangan! Jangan!" Ruth berteriak. Kalian jangan membenci mereka.Ini adalah dendam dan lingkaran kepahitan.Yesus mengajarkan supaya kita mengasihi semua orang bahkan mengasihi musuh-musuh kita. Setiap hari saya berdoa untuk tentara-tentara Red Guards ini, supaya mereka segera menemukan dan mengenal Yesus. Dengan cara yang sama, saya juga telah berdoa bagi kalian semua. Kalian semua juga kekasih-kekasih yang dicintai Tuhan Yesus."
"Hah!" Cetus seseorang dengan gerang. "Kalau Yesus sungguh-sungguh mengasihi saya, kenapa saya ada di sini, di dalam sel yang kumuh ini?"Ruth mulai menjelaskan bagaimana sel yang kotor ini sama seperti dosa mereka. Hanya salib Yesus yang sanggup menjembatani gap antara orang-orang berdosa dengan Allah yang kudus. Yang mereka butuhkan adalah mengakui dosa-dosa mereka dan meminta Yesus menjadikan mereka manusia yang baru.

Sekali lagi ada kesunyian yang panjang dalam penjara itu. Dan satu persatu anggota sel itu mulai bertekuk lutut di sampingnya, penuh tangisan mengakui dengan keras segala dosa-dosa mereka dan memohon Yesus menyucikannya. "Terima kasih Tuhan," Ruth berdoa. "Sungguh Engkau bisa mengubahkan segala sesuatunya menjadi baik!"
Kesan dari sumber :

Kesaksian ini menggambarkan betapa hebatnya aniaya dan penderitaan yang dialami gereja-gereja Tuhan di Cina. Namun semua yang dialami orang-orang ini seakan-akan memancarkan kemuliaan Tuhan yang semakin terang dan menjadi kesaksian atas seluruh bangsa di dunia.Keteguhan iman mereka teruji dalam dapur api.

Mereka bukan cuma mengakui Yesus dengan mulut mereka, tetapi mereka membayar pengakuan mereka ini dengan aniaya dan penderitaan. Mereka belum pernah merasakan datang ke gereja tiap minggu, bernyanyi memuji Tuhan, bersukacita, dan mengharapkan untuk hidup dalam kelimpahan.Yang ada pada mereka adalah gereja bawah tanah dan ibadah yang sembunyi-sembunyi. Mereka dikejar-kejar oleh tentara militer, dan rawan dengan aniaya.

Pengakuan iman mereka teruji dengan tindakan yang nyata. Kuasa injil betul-betul dinyatakan dalam kehidupan mereka. Mereka mempertahankan iman dengan nyawa mereka.Tidak ada sesuatupun yang dapat menggoyahkan iman mereka di dalam Tuhan.Iman seperti inilah yang dicari Tuhan.
" .....Akan tetapi, jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di bumi?" [Luk 18:8]
SUMBER : speedytown.com

Humor

Garam Dunia
Budi adalah seorang murid Sekolah Minggu dari suatu gereja. Walaupun
ibunya belum mengenal Tuhan Yesus, ia tidak pernah melarang Budi untuk
pergi ke Sekolah Minggu.

Pada suatu hari Minggu, sesampainya Budi di rumah, ibunya bertanya,
"Pelajaran apa yang kamu dapatkan di Sekolah Minggu tadi pagi?"

Budi dengan semangat menjawab, "Tadi pagi guru Sekolah Minggu saya,
Ibu Meliati bersama dengan asistennya Ibu Hartatik, mengajarkan saya
untuk menjadi garam bagi dunia ini."

Ibunya terkejut dan berkata, "Weee lhadalah Nak, kamu mau jadi garam?
Jangan kecewakan Ibu, Nak! Ibu maunya kamu tuh jadi dokter atau
insinyur!"
---------------------------------------------------------------------
      "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar,
         dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya
          selain dibuang dan diinjak orang." (Matius 5:13)

Senin, 26 Juli 2010

Bersabarlah....
 
 Kita tidak akan disedihkan, tanpa disiapkan kebahagiaan.
 Kita tidak akan digalaukan, tanpa dibangunkan kedamaian.
 Dan Kita tidak mungkin direndahkan, tanpa disusunkan derajat yang  tinggi.

Iman Itu Indah
                                                                                                                                                                            Posting By :  Johannes S
 

Berterima kasih

Kolose 3:17
“Segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita”

Tolong dan terima kasih adalah sebagian dari kata-kata pertama yang diajarkan kepada kita. Tak ada yang segembira orangtua atau kakek dan nenek, saat seorang anak mengucapkan kata-kata itu untuk pertama kalinya dan tahu hubungan antara meminta dengan sopan dan menerima dengan berterima kasih.

Namun, saya yakin bahwa saat kita tumbuh dewasa, kita lebih terlatih untuk berkata “tolong” daripada “terima kasih”, terutama kepada Bapa surgawi. Kita lebih memusatkan perhatian kepada kebutuhan yang mendesak daripada apa yang sudah kita terima; kita lebih banyak memohon daripada menaikkan pujian.
Dalam Kolose 3, Paulus tiga kali mengingatkan kita untuk tetap bersyukur kepada Allah: “bersyukurlah” (ayat 15); bernyanyi dengan penuh syukur kepada Tuhan (ayat 16); “lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita” (ayat 17).

Dr. Michael Avery, presiden Sekolah Alkitab Allah di Cincinnati, Ohio, berkata, “Aroma harum dari jiwa yang bersyukur, menghormati dan memuliakan Allah. Hal itu mengusir kemuraman dan mendatangkan kedamaian yang indah serta pengharapan yang penuh berkat. Rasa syukur mendorong kemurahan hati.” Bersyukur kepada Allah itu adalah suatu tindakan yang baik. 

Mengucap syukur seharusnya merupakan sikap yang terus menerus, bukan kadang-kadang.

Sabtu, 24 Juli 2010

Tergesa Membawa Celaka

Amsal 16:32
“Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan”


Alkisah pada masa dinasti Song ada seorang petani yang tidak pernah sabar. Ia merasa padi di sawahnya tumbuh sangat lambat. Akhirnya ia berpikir, “Jika saya menarik-narik padi itu ke atas, bukankah saya membantunya bertumbuh lebih cepat?” Lalu ia menarik-narik semua padinya. Sampai di rumah, dengan bangga ia bercerita kepada istrinya bahwa ia baru saja membantu padinya bertumbuh lebih cepat.

Keesokkan harinya ia pergi ke sawah dengan bersemangat, tetapi betapa kecewanya ia ketika melihat bahwa semua padi yang kemarin ditariknya ke atas sudah mati. Karena tidak sabar, “usahanya untuk membantu” malah membuatnya rugi besar.

Demikian pula dengan Saul, raja Israel. Sebelum Saul berperang ke Gilead melawan bangsa Filistin, Samuel sudah berpesan bahwa ia akan datang kepada Saul untuk mempersembahkan korban. Samuel meminta Saul menunggu ia datang untuk memberi instruksi (I Samuel 13:8). Namun, Saul tidak mengindahkan perintah Samuel maupun hukum Tuhan. Ia tidak sabar menunggu Samuel. Ia lebih takut ditinggalkan rakyatnya dari pada takut pada Tuhan. Ketidaksabarannya membawa dampak yang fatal, Tuhan menolaknya sebagai raja (ayat 14).

Dalam hidup ini, kita juga kerap tidak sabar menunggu waktu Tuhan. Ketika pertolongan Tuhan rasanya tak kunjung tiba, jangan tergesa mengambil jalan. Bukannya menyelesaikan masalah, malah sering kali mendatangkan masalah baru yang justru lebih besar! Akar ketidaksabaran adalah tidak percaya. Jika kita sungguh-sungguh percaya Allah mampu menolong, kita akan menanti Dia dengan sabar.

Dalam hidup orang yang sabar selalu ada banyak kesempatan untuk Allah bekerja.